Bogor (ANTARA Jogja) – Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Herry Suhardiyanto mengemukakan bahwa cendawan dibutuhkan dalam sistem pertanian berkelanjutan sebagai agen pengendali hayati dan pupuk hayati.
“Di samping menimbulkan dampak negatif, cendawan juga mempunyai banyak manfaat,” katanya di Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Ia menjelaskan bahwa pada suku-suku di Indonesia telah lama menggunakan cendawan sebagai bagian kuliner lokal, seperti untuk membuat tape, tempe, oncom, gatot, kecap dan jamur pangan.
Untuk itu, kata dia, pihaknya menyambut baik peluncuran Perhimpunan Mikologi Indonesia (Mikoina).
Mikoina sebagai wadah profesi bagi ahli cendawan baru lahir empat bulan lalu.
“Mikroina sudah selayaknya berpartisipasi, mendorong dan memanfaatkan situasi ilmiah yang sedang berkembang dalam masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, pada pertengahan September 2012, pihaknya ikut menggagas peluncuran dan seminar nasional Mikoina bertema “Mykes Pro Vita”
Rektor mengatakan bahwa cendawan memegang peranan penting dalam kehidupan bumi.
Dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati oleh pemerintah Indonesia, kata dia, sudah seharusnya para mikologiwan memberikan perhatian penuh terhadap data kekayaan cendawan.
“Indonesia sebagai ‘megabiodiversity hotspot’ belum mempunyai data kekayaan cendawan. Padahal dengan berkurangnya luasan hutan tropik dan terganggunya ekosistem laut banyak jenis cendawan tropik yang lenyap,” katanya.
Untuk itu, kata dia, Mikoina dapat menjadi kekuatan pendorong terbentuknya bank biakan cendawan “indigenous” Indonesia yang dilengkapi basis data pendukungnya.
Apalagi, kata dia, cendawan merupakan organisme yang menjadi perhatian dalam kerangka “biosafety” protokol Cartagena.
Untuk itu, katanya, perdagangan bebas produk pertanian seharusnya tetap membatasi penyebaran cendawan patogen.
“Yang memprihatinkan cemaran mikotoksin menjadi salah satu faktor pembatas ekspor produk pertanian Indonesia,” katanya. Z003
Sumber: Antara Yogya, 13 Oktober 2012
Ilsutrasi Foto: Iman Mardiana-Mikoina